Perlu ada upaya penyamaan persepsi di kalangan penegak hukum terkait implementasi UU Narkotika yang berkaitan dengan anak sebagai terdakwa.
Awalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU PA) belum mengatur diversi. Selanjutnya diversi baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Hadirnya UU SPPA sebagai pengganti UU PA disebabkan Indonesia sudah meratifikasi dan menjadi pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). UU PA otomatis menjadi tidak relevan lagi sehingga harus disesuaikan.
Black Law Dictionary menjelaskan diversi adalah bentuk pengalihan proses yang hanya dilakukan pada tahap praajudikasi dalam sistem peradilan pidana. Berdasarkan definisi tersebut, proses diversi terkesan hanya berlaku ketika suatu perkara masih berada di tangan kepolisian.
Namun, Kenneth Davis dan Aronson menjelaskan diversi pada dasarnya adalah diskresi atau kebebasan yang dimiliki oleh petugas bidang administrasi pemerintahan—dalam hal ini polisi, jaksa, dan hakim—dalam menginterpretasikan undang-undang, penggunaan kewenangan, dan pilihan tindakan dari penegak hukum. Contoh yang ada dari berbagai negara menunjukkan bahwa upaya diversi yang berkaitan dengan anak pada prinsipnya bertujuan untuk: (1) menghindari penahanan, (2) menghindari cap/label sebagai penjahat, (3) memajukan intervensi-intervensi yang dibutuhkan korban dan pelaku tanpa melalui proses formal, (4) menghindari anak mengikuti proses peradilan pidana dalam rangka menghindari pengaruh dan implikasi negatif dari proses tersebut.
Sementara itu, UU SPPA mendefinisikan diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses diversi ini dilakukan di setiap tahap mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan. Pasal 6 UU SPPA menyebutkan lima tujuan diversi yaitu: (1) mencapai perdamaian antara korban dan anak, (2) menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, (3) menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, (4) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, (5) menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
UU SPPA mengatur prosedur formil diversi hanya diberlakukan kepada anak pelaku yang telah berusia 12 tahun sampai dengan 17 tahun.Selain itu, diversi dapat dilaksanakan apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Proses diversi dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan anak pelaku dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Diversi dalam Tindak Pidana Narkotika
Hadirnya lembaga diversi pada prinsipnya membuat penyelesaian perkara pidana menjadi lebih efektif karena menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Namun, hal tersebut sepertinya masih sulit untuk tindak pidana narkotika. Alasannya karena ada perbedaan perspektif di antara aparat penegak hukum dalam melihat tindak pidana narkotika. Salah satu yang menjadi masalah adalah pada umumnya anak yang melakukan tindak pidana narkotika dijerat pasal pengedar yaitu Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, atau Pasal 115 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Ancaman pidana yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut mencapai maksimum 20 tahun.
Pengenaan pasal tersebut di dalam surat dakwaan membuat pengadilan tidak bisa mengupayakan diversi terhadap terdakwa. Pengadilan masih bisa mengupayakan diversi apabila salah satu dakwaan (apabila bukan dakwaan tunggal) mencantumkan pasal penyalahgunaan narkotika yaitu Pasal 127 UU Narkotika yang ancaman pidananya maksimum empat tahun.
Pada praktiknya, Jaksa Penuntut Umum cenderung mengenakan Pasal 111 atau Pasal 112 UU Narkotika ketika menjerat seorang anak yang menguasai narkotika alih-alih dengan Pasal 127. Penulis secara pribadi menilai Pasal 127 masih bisa dikenakan kepada anak berkonflik dengan hukum tersebut apabila tujuan dari penguasaan narkotika sebatas untuk digunakannya sendiri yang bukan untuk diedarkan.
Alasan tidak dicantumkannya Pasal 127 di dalam dakwaan biasanya karena anak yang berkonflik dengan hukum belum menggunakan narkotika yang dikuasainya, sehingga urin dari anak tidak positif narkotika. Ini memang masih menjadi perdebatan apakah untuk mengenakan Pasal 127 harus disertai dengan hasil urin yang positif. Menurut Penulis, selama penguasaan narkotika yang dilakukan oleh anak bisa dibuktikan bertujuan untuk digunakannya sendiri alih-alih diedarkan, maka seharusnya Jaksa Penuntut Umum bisa mencantumkan Pasal 127 di dalam dakwaannya tanpa perlu hasil urin positif narkotika.