Jl. Raya Panglima Sudirman No.19 | Kota Probolinggo

Email Kami

jdih@probolinggokota.go.id

Telepon

(0335)421830

MENGURAI BENANG KUSUT: PENYEDERHANAAN PENJELASAN ATAU KETERANGAN DALAM PEMBENTUKAN PERDA DAN PERKADA

Melalui amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta seluruh perubahannya, daerah diserahkan sebagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal yang ada. Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah tersebut kemudian daerah juga diberikan kewenangan dalam membuat kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yakni Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Pembentukan Perda dan Perkada tidak saja terbatas untuk melaksanakan penyelenggaraan otonomi daerah, namun juga dapat menjadi instrumen penting dalam melaksanakan tugas pembantuan dan untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pembentukan Perda dan Perkada merujuk pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). UU PPP mengatur beberapa tahapan yang harus dilalui dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Perda dan Perkada, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan dan sampai dengan tahap penetapan atau pengundangan, kemudian di dalam perkembangan hukum terdapat satu tahapan lagi yang hadir yakni tahapan pemantauan dan peninjauan. Di antara beberapa tahapan tersebut, terselip salah satu tahapan dalam rangka mewujudkan produk hukum yang berkualitas yang dikenal dengan tahapan pengharmonisasian, pemantapan dan pembulatan konsepsi (untuk selanjutnya akan disebut pengharmonisasian).

Pengharmonisasian adalah proses penyelarasan substansi peraturan perundang-undangan dan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga menjadi peraturan perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka hukum nasional. Pengharmonisasian dilakukan mulai dari level pemerintah pusat hingga ke pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk pemerintah pusat, pengharmonisasian dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan di provinsi dan kabupaten/kota, pengharmonisasian dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berada pada setiap ibukota provinsi yang juga merupakan perpanjangan tangan dari  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pengharmonisasian terhadap Rancangan Perda (Raperda) termasuk Rancangan Perkada (Raperkada) dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah banyaknya Perda yang bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal. Tata cara pelaksanaan pengharmonisasian khususnya di daerah saat ini mengacu pada ketentuan di dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PP.02.01 Tahun 2023 tentang Pedoman Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah (Kepmenkumham No. 01/2023). Di dalam Kepmenkumham No. 01/2023 mengatur berbagai hal, dan salah satunya mengenai syarat harus adanya penjelasan atau keterangan sebagai lampiran permohonan dilakukannya rapat pengharmonisasian.

Pengaturan mengenai penjelasan atau keterangan secara eksplisit dapat kita temukan di dalam Pasal 56 UU PPP yang menyebutkan bahwa setiap Raperkada
Provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik. Kemudian ayat (3) menegaskan penjelasan atau keterangan hanya untuk rancangan peraturan daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pencabutan atau perubahan yang hanya terbatas mengubah beberapa materi. Pengaturan di dalam Pasal 56 ini juga berlaku secara mutatis mutandis pada Raperda Kabupaten/kota.

Penjelasan atau keterangan memiliki kedudukan yang signifikan dalam proses pengharmonisasian, hal ini mengacu pada Kepmenkumham No. 01/2023, yang menyebutkan salah satu syarat lampiran dokumen permohonan pengharmonisasian adalah penjelasan atau keterangan. Artinya bahwa tanpa dokumen penjelasan atau keterangan maka permohonan pengharmonisasian dianggap tidak lengkap sehingga diberikan waktu bagi pemerintah daerah paling lama 3 (tiga) hari kerja untuk melengkapi, dan apabila dalam jangka waktu tersebut tidak dilengkapi maka permohonan pengharmonisasian tidak diproses.

Lampiran III Kepmenkumham No. 01/2023 yang membahas sistematika penjelasan atau keterangan, menunjukkan struktur yang seakan mirip dengan struktur naskah akademik. Penjelasan atau keterangan terdiri dari 4 (empat) Bab yakni, Bab I Pendahuluan (latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penulisan dan dasar hukum), Bab II Pokok Pikiran, Bab III Materi Muatan (sasaran, jangkauan dan arah pengaturan; dan ruang lingkup materi) dan Bab IV Penutup. Sebelum Bab I Pendahuluan terdapat judul, kata pengantar dan daftar isi, sedangkan setelah Bab IV penutup ada daftar pustaka.

Meski di dalam Lampiran III Kepmenkumham No. 01/2023 juga sudah memberikan sistematika penyusunan  penjelasan  atau  keterangan Raperda atau Raperkada, sejumlah permasalahan masih tetap saja timbul didasarkan pada kondisi eksisting. Dengan sistematika yang ada saat ini, akan semakin rumit bagi Pemerintah Daerah sehingga dampaknya memerlukan waktu lebih lama dalam menyiapkan penjelasan atau keterangan yang sebaiknya-baiknya. Kompleksitas sistematika penjelasan atau keterangan ini dapat menimbulkan beban tambahan bagi pemerintah daerah, terutama yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Misalnya pemerintah daerah hanya ingin mengubah 1 pasal saja dari Perda, tetapi kemudian dituntut dengan sistematika penjelasan atau keterangan yang memiliki struktur terlalu panjang dan rinci. Di sejumlah daerah anggaran untuk menyusun Raperkada tidak sama dengan penyusunan Raperda. Biasanya alokasi anggaran hanya mengakomodir rapat dan honor tim internal dari pemrakarsa dan perangkat daerah terkait, tidak untuk tim ahli yang mendukung dalam penyusunan penjelasan atau keterangan tersebut. Sistematika penjelasan atau keterangan perlu disederhanakan karena berdasarkan tujuannya, penjelasan atau keterangan sebenarnya hanya memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur (Lihat Pasal 56 ayat (3) UU PPP).

Selain itu, permasalahan lainnya adalah hingga saat ini masih sangat minim literasi yang membahas mengenai bentuk dan isi dari penjelasan atau keterangan untuk Raperda dan Raperkada, serta masih belum ada landasan yuridis kuat yang secara khusus mengatur mengenai penjelasan atau keterangan dibandingkan dengan pengaturan mengenai naskah akademik yang sudah dikupas tuntas di dalam Lampiran I UU PPP. Pengaturan mengenai penjelasan atau keterangan di dalam Kepmenkumham No. 01/2023 juga secara teori peraturan perundang-undangan dapat dikatakan masih keliru. Kita semua tahu perbedaan antara peraturan dan keputusan. Secara teori, terdapat perbedaan mendasar antara peraturan dan keputusan. Peraturan bersifat mengatur dan mengikat umum, sedangkan keputusan bersifat mengatur dan mengikat secara individual atau konkret. Dan pengaturan di dalam Kepmenkumham No. 01/2023 merujuk pada isi materi muatan akan lebih tepat jika diatur di dalam peraturan.

Untuk mengatasi kompleksitas permasalahan tersebut, diperlukan penyederhanaan sistematika dan juga pengaturan khusus mengenai penjelasan atau keterangan. Penyederhanaan ini harus tetap mengacu pada tujuan utama penjelasan atau keterangan, yaitu menyampaikan pokok pikiran dan materi muatan yang diatur dalam peraturan. Sebaiknya struktur penjelasan atau keterangan terdiri dari 4 (empat) bagian penting saja yang meliputi: (1) pendahuluan, yang merupakan pengantar dan juga latar belakang urgensi disusunnya peraturan dimaksud; (2) dasar hukum, berupa dasar pembentukan peraturan dan dasar kewenangan yang menjadi landasan yuridis rancangan dimaksud; (3) pokok pikiran dan materi muatan yang diatur, berupa penjelasan mengenai pokok pikiran dan materi muatan apa yang akan diatur di dalam rancangan tersebut; dan (4) penutup, yang menegaskan harapan dan bahwa rancangan tersebut dibahas dan ditetapkan. Untuk pengaturan khusus mengenai penjelasan atau keterangan dapat dipertimbangkan agar ke depan dpaat diakomodir di dalam UU PPP atau peraturan pelaksanaan dari UU PPP yang mengatur mulai dari definisi, kewajiban, sistematika, dan juga subyek hukum yang berwenang menyusun penjelasan atau keterangan.

Dengan adanya penyederhanaan sistematika dan pengaturan khusus penjelasan atau keterangan di dalam regulasi, diharapkan proses penyusunan penjelasan atau keterangan Rancangan perda dan Rancangan perkada dapat berjalan lebih lancar, sehingga pembentukan produk hukum khususnya di daerah dapat dilakukan secara lebih efisien dan efektif.

Oleh : Frichy Ndaumanu (bphn.go.id)