Jl. Raya Panglima Sudirman No.19 | Kota Probolinggo
Telepon

(0335)421228

PENERAPAN UU ITE DALAM KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN BERPENDAPAT DI MASYARAKAT

Pendahuluan 

Pada  dasarnya  setiap  manusia  memang bebas  dalam  berpendapat,  namun  kebebasan berpendapat    tersebut    harus    bisa dipertanggungjawabkan  dan  sesuai  dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Jika penyampaian  pendapat  tersebut  tidak  disertai dengan dasar penyampaian yang jelas dan tidak didasari  akan  rasa  tanggung  jawab,  maka kebebasan  berpendapat  itu  sendiri  dapat menyebabkan kerugian bagi pihak tertentu baik itu  kerugian  materiil  atau  kerugian  atas pencemaran nama baiknya. Indonesia merupakan negara dengan populasi sekitar 284,4 juta orang  pada tahun 2025 (BPS, 2025), ini membuktikan bahwa negara dengan penduduk yang banyak harus diberikan pemahaman hukum serta perundang-undangan yang jelas untuk mengatur rakyatnya dalam kebebasan berpendapat di mana diatur pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Semakin berkembangnya zaman teknologi dan digitalisasi ini harus diimbangi dengan kemampuan dalam menganalisa dan berpikir dalam melakukan segala sesuatu hal terutama di media sosial. Banyaknya platform digital menjadi wadah untuk mengutarakan pendapat dan opini baik ke sesama pengguna maupun pemerintah. Selain di media sosial kehidupan dalam bersosialisasi secara langsung juga harus diatur agar tidak saling mempidana satu sama yang lain.

 Pembahasan 

Kebebasan    dalam    mengemukakan pendapat  merupakan  hak  dari  setiap  warga negara  Indonesia.  Hak  dan  kewajiban  dalam kebebasan  berpendapat  tersebut  diatur  dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28 dan Undang – Undang Nomor 39  Tahun  1999  tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 23 “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Banyak sekali contoh yang merupakan pencemaran nama baik seperti komentar merendahkan orang lain di media sosial, menyebarkan rumor palsu di lingkungan kerja serta membuat artikel palsu yang dapat merugikan orang lain. Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2008 sebagaimana diubah terakhir dengan  Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2024 merupakan  Undang – Undang  pertama  yang di dalamnya  mengatur  tentang  Informasi  dan  Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai  salah  satu produk  legislasi  yang  sangat dibutuhkan dan telah menjadi acuan yang meletakkan dasar pengaturannya di bidang pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik itu sendiri.

Pada tahun 2022, selebgram Medina Zein dijatuhi pidana atas tindakan pencemaran nama baik yang berawal dari perselisihan dengan Marissya Icha. Sengketa bermula ketika Marissya Icha menduga bahwa tas yang dibelinya dari Medina Zein adalah barang palsu. Ia kemudian meminta pengembalian dana atas transaksi tersebut. Alih-alih menyelesaikan masalah secara baik, Medina Zein justru melakukan tindakan intimidasi dan penghinaan terhadap Marissya Icha melalui media sosial.

Atas perbuatan tersebut, Marissya Icha melaporkan Medina Zein ke Polda Metro Jaya pada bulan September 2021. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan proses hukum, Medina Zein dinyatakan bersalah karena telah melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan secara terbuka melalui media elektronik.

Perbuatan Medina Zein dinilai melanggar ketentuan:

  1. Pasal 310 KUHP: tentang penghinaan secara lisan atau tulisan yang dilakukan di muka umum.
  2. Pasal 311 KUHP: mengenai penghinaan yang disertai tuduhan palsu.
  3. Pasal 27 ayat (3) UU ITE: yang mengatur larangan mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memuat penghinaan atau pencemaran nama baik. (CNN.com)

Apakah UU ITE Masih Relevan?

UU ITE dianggap kontroversial karena beberapa alasan, terutama terkait dengan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan pasal-pasalnya untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta potensi kriminalisasi terhadap individu melalui pasal-pasal karet yang multitafsir.

Joko Widodo (Jokowi) pada masa pemerintahannya memberikan perhatian khusus pada UU ITE. Alasannya menurut Jokowi banyak warga masyarakat yang saling melaporkan dengan menggunakan aturan hukum tersebut.

Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada 15 Februari 2021, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pelaksanaan proses hukum dalam beberapa kasus yang merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dipandang tidak sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan. Meskipun terdapat dasar hukum yang sah bagi pelapor, ia menekankan bahwa semangat UU ITE seharusnya berorientasi pada terciptanya ruang digital yang bersih, sehat, beretika, dan produktif. Namun, ia memberi catatan bahwa implementasi regulasi tersebut perlu dijalankan dengan hati-hati agar tidak justru menimbulkan persepsi ketidakadilan di masyarakat.

UU ITE kerap menjadi sorotan publik karena dianggap mengandung pasal-pasal yang kontroversial dan berpotensi menimbulkan multitafsir. Salah satu alasan utama kontroversinya adalah penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE pencemaran nama baik yang dinilai fleksibel dan sering digunakan untuk menjerat individu yang menyampaikan kritik atau pendapat di ruang publik. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan pembatasan kebebasan berekspresi, terutama di media sosial, di mana dalam berpendapat mudah disalahartikan sebagai penghinaan. Dengan demikian, meskipun UU ITE bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan digital, penerapannya yang tidak proporsional dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam kebebasan sipil di era digital.

1. Potensi Pembatasan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat:

a.      UU ITE khususnya pasal-pasal tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, seringkali dituduh sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau tokoh publik, serta membatasi kebebasan berekspresi di media sosial.

b.      Banyak kasus yang dilaporkan di bawah UU ITE melibatkan individu yang mengkritik atau menyampaikan pendapat yang berbeda, yang kemudian dianggap sebagai pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.

c.       Pasal-pasal ini dianggap “karet” karena tafsirnya yang luas dan subjektif, sehingga memungkinkan aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasi berbagai bentuk ekspresi (hukumonline.com).

2. Pasal Karet dan Multitafsir:

a.      Beberapa pasal dalam UU ITE seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dianggap memiliki rumusan yang multitafsir dan dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi berbagai tindakan yang sebenarnya tidak memenuhi unsur pidana.

b.      Ketidakjelasan rumusan pasal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan oleh oknum-oknum tertentu, termasuk dalam konteks politik.

c.       Kekhawatiran tentang pasal karet ini juga diperkuat oleh catatan banyaknya kasus yang dilaporkan di bawah pasal-pasal tersebut, dengan tingkat penahanan yang tinggi (alchemistgroup.co, 2024)

3. Dampak Terhadap Kebebasan Pers dan Aktivisme:

a.      UU ITE telah berdampak pada jurnalis dan aktivis yang seringkali menyampaikan kritik terhadap pemerintah atau isu-isu sosial. Mereka merasa khawatir untuk menyuarakan pendapat mereka karena potensi ancaman hukum.

b.      Ketakutan akan sanksi hukum dapat menghambat inovasi dan kreativitas di dunia digital, serta menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk diskusi terbuka (Visandri, 2024)

4. Kekhawatiran Terhadap Over kriminalisasi:

a.      UU ITE berpotensi menyebabkan overkriminalisasi, yaitu pemidanaan terhadap tindakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam tindak pidana, atau tindak pidana yang sebenarnya tidak perlu dijerat dengan hukuman pidana.

b.      Banyak kasus yang dilaporkan di bawah UU ITE menunjukkan bahwa individu dapat dihukum berat, bahkan dengan penahanan, untuk tindakan yang sebenarnya tidak merugikan orang lain secara signifikan (Senen, 2021).

5. Kebutuhan Revisi dan Pendekatan Restoratif:

a.      Akibat berbagai kontroversi dan kekhawatiran yang muncul, banyak pihak menyerukan revisi UU ITE untuk memperjelas rumusan pasal-pasalnya dan memastikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.

b.      Selain itu, ada pula usulan agar penegakan hukum dalam kasus UU ITE lebih mengedepankan pendekatan restoratif, yaitu pendekatan yang mengutamakan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, serta penyelesaian masalah secara damai (Santiarto, 2024) 

 Penutup

Terdapat beberapa perbedaan pengaturan mengenai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam hukum internasional dan hukum nasional, walaupun kedua hukum tersebut memiliki banyak persamaan dari tiap pasal-pasal yang berbeda, namun tetap terdapat perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. dapat disimpulkan bahwa dalam UU ITE Pasal 27 ayat (3) menggunakan proposisi ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’, sedangkan di penjelasan dijelaskan ruang lingkup proposisi tersebut adalah ‘pencemaran nama baik dan/atau fitnah’, ini merupakan hal yang kontra-produktif dalam penentuan lingkup norma.

Dalam upaya untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang UU ITE dimana ada 3 instansi utama yang terlibat yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. SKB ini dimaksudkan sebagai panduan untuk menginterpretasikan UU ITE tanpa mengubah substansi hukum yang ada. Meskipun UU ITE penting dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana di dunia teknologi dan informasi, penting juga untuk memastikan bahwa penggunaannya tidak menyalahi prinsip keadilan dan kebebasan berekspresi yang merupakan nilai fundamental dalam masyarakat.

Oleh : Pahotan Gultom (bphn.go.id)