Indonesia merupakan suatu negara hukum. Hal ini, diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Setiap Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam perwujudan keadilan atau kesamaan kedudukan dalam hukum yaitu adanya bantuan hukum bagi setiap warga negara yang terlibat dalam kasus hukum.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, hak atas bantuan hukum adalah bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia sebagai perwujudan persamaan di muka hukum. Bagi masyarakat kalangan ekonomi atas tentunya dapat menunjuk advokat jika memiliki masalah hukum untuk membela kepentingannya, namun bagi kalangan ekonomi ke bawah yang tidak mempunyai kemampuan secara material tentunya tidak mampu menunjuk advokat sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki kemampuan secara finansial. Oleh sebab itu, pemerintah telah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi seluruh masyarakat yang kurang mampu agar seluruh lapisan masyarakat memperoleh keadilan dan kesetaraan di muka hukum dan dapat terpenuhi hak-haknya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum, terutama masyarakat miskin, oleh advokat maupun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) resmi yang terakreditasi oleh negara. Prosedur atau mekanisme permohonan bantuan hukum ini juga sangat mudah, masyarakat harus melampirkan surat keterangan miskin dari pejabat setingkat yang ada di daerah pemohon bantuan hukum serta mengajukan pemohonan dan melengkapi dokumen dan uraian mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.
Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Oleh karena itu, pemberi bantuan hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani pemberi bantuan hukum atau yang bisa dikenal dengan istilah gratifikasi.
Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Perbuatan gratifikasi terkadang memiliki makna sebagai sebuah hal yang wajar dalam masyarakat. Tetapi pada perkembangannya berubah menjadi dilematis dan berbahaya jika pemberian tersebut bertujuan mengincar ingatan baik sebagai tabungan jasa di masa depan kepada seseorang. Dengan begitu, gratifikasi disepakati menjadi salah satu bentuk kecurangan yang berbahaya dan terlarang yang merupakan bagian dari bentuk korupsi. Gratifikasi dalam pemberian bantuan hukum dapat menjadi masalah serius jika tidak dikelola dengan transparansi dan integritas.
Gratifikasi dalam Bantuan Hukum merupakan isu penting karena menyangkut integritas dan etika dalam pelayanan hukum, khususnya yang diberikan oleh advokat, lembaga bantuan hukum (LBH), maupun aparat penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, polisi, dll.). Dalam pemberian bantuan hukum, gratifikasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti:
- Honorarium atau biaya tambahan yang diterima oleh advokat atau pengacara dari klien di luar kesepakatan awal.
- Hadiah atau fasilitas yang diberikan oleh klien sebagai ucapan terima kasih, yang nilainya melebihi batas wajar.
- Komisi atau fee yang diterima oleh pihak ketiga atas rekomendasi atau referensi klien.
Jika gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan penerima dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka dapat dianggap sebagai tindak pidana suap menurut Pasal 12B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001. Pemberi Bantuan Hukum yang terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum atau pihak yang terkait dengan pekara yang sedang ditangai akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000. Perlu adanya tindakan pencegahan yang harus diterapkan dalam penyelenggaran Bantuan Hukum yaitu :
- Adanya Transparansi, dalam hal ini Organisasi Bantuan Hukum (OBH) dan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) harus menjelaskan bahwa bantuan hukum adalah gratis.
- Sosialisasi kepada masyarakat agar tidak perlu memberi imbalan atau hadiah.
- Pelaporan, jika pemberian diterima oleh penyelenggara negara/pegawai negeri maka harus dilaporkan ke KPK maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja.
- Penolakan dengan sopan terhadap segala bentuk pemberian dari klien.
Dalam praktik pemberian bantuan hukum perlu adanya pengawasan yang bertujuan untuk memonitoring berjalannya bantuan hukum. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya gratifikasi agar tercipta keadilan yang sama rata dan bebas dari pungutan-pungutan yang memberatkan masyarakat. Di Indonesia, salah satu faktor pemicu terjadinya gratifikasi ialah karena sedikitnya orang-orang yang berani melaporkan praktik gratifikasi. Oleh sebab itu perlunya diberikan perlindungan hukum untuk para pelapor gratifikasi, yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk menjaga independensi dan integritas Pemberi Bantuan Hukum harus mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan dan penindakan praktik gratifikasi. Perlunya penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal, serta penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelanggar hukum, baik dari internal maupun eksternal menjadi kunci dalam memastikan bahwa Pemberi Bantuan Hukum tetap dapat dipercaya dalam melaksanakan tugasnya serta adanya pengawasan dapat mengendalikan atau meminimalisasi kasus-kasus gratifikasi yang terjadi dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
Pengendalian gratifikasi merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengendalikan penerimaan gratifikasi melalui peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaporan gratifikasi secara transparan dan akuntabel sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan kegiatan pengendalian gratifikasi, terdapat sejumlah prinsip-prinsip utama, yaitu:
- Transparansi;
- Akuntabilitas;
- Kepastian Hukum;
- Kemanfaatan;
- Kepentingan Umum;
- Independensi; dan
- Perlindungan bagi Pelapor.
Pengendalian gratifikasi merupakan langkah penting dalam menciptakan tata kelola pemerintahan atau organisasi yang bersih, transparan, dan akuntabel. Dengan adanya sistem pengendalian gratifikasi yang efektif, potensi penyalahgunaan wewenang serta tindakan korupsi dapat diminimalkan. Pengendalian ini mencakup pemahaman, pelaporan, pengawasan, serta pemberian sanksi terhadap tindakan yang melanggar. Penting bagi setiap individu dalam organisasi untuk memiliki integritas serta kesadaran hukum agar tidak terjerat dalam praktik gratifikasi ilegal. Secara keseluruhan, pengendalian gratifikasi bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk komitmen moral dalam mendukung terciptanya pemberian keadilan yang merata.
Oleh sebab itu gratifikasi merupakan hal yang harus kita hindari bersama dalam pemberian bantuan hukum dikarenakan telah menciderai prinsip keadilan dan layanan cuma-cuma, berpotensi melanggar hukum pidana dan etika profesi, serta merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Pengendalian gratifikasi dalam penyelenggaraan bantuan hukum merupakan elemen kunci untuk menjaga integritas, profesionalisme, dan kepercayaan publik terhadap layanan hukum yang diberikan. Sebagai layanan yang seharusnya diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan, bantuan hukum wajib terbebas dari praktik gratifikasi dalam bentuk apapun, baik yang bersifat uang, barang, fasilitas, maupun bentuk pemberian lainnya.
Sumber : Oka Septa Tinambunan (bphn.go.id)
