Jl. Raya Panglima Sudirman No.19 | Kota Probolinggo

Email Kami

jdih@probolinggokota.go.id

Telepon

(0335)421830

Terpenuhikah Hal Ihwal Kegentingan Memaksa dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022?

Pada tanggal 30 Desember 2022, Pemerintah menetapkan, mengundangkan, sekaligus memberlakukan secara efektif Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut Perppu tentang Cipta Kerja). Lahirnya Perppu ini tak urung menimbulkan pro dan kontra, terlebih lahir di ujung tahun 2022 dan secara substansi Perppu ini memuat ulang ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU tentang Cipta Kerja) setelah dalam satu pasalnya mencabut keberlakukan dari UU tentang Cipta Kerja.

Dalam kurun waktu dua kali masa jabatan pemerintahannya, Presiden Joko Widodo bukan baru satu kali melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Salah satu yang juga cukup kontroversial namun kemudian disetujui dan ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh DPR adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dasar kewenangan Presiden menetapkan Perppu bersumber dari konstitusi. Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dinyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Mekanisme persetujuan DPR diatur pada ayat (2) dan ayat (3) yakni: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.”

Adapun tekait pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme penyusunan Perppu diatur dalam Pasal 52 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 52 menyebutkan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. Masa sidang pertama setelah 30 Desember 2022 adalah Masa Sidang I Tahun Sidang 2023 yang dibuka sejak tanggal 10 Januari dan berakhir pada 16 Februari 2023. Pada 17 Febuari 2023, DPR sudah memasuki masa reses.

Pasal 52 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menjelaskan bahwa Pengajuan Perppu dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu tersebut. Dalam hal Perppu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. Sedangkan dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

Dalam hal Perppu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku maka DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu tersebut. RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama saat DPR tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu tersebut.

Posisi DPR saat ini tentu masih menunggu pengajuan Penetapan Perppu tersebut dari Pemerintah. Di luar aspek substansi yang sudah diketahui secara luas bahwa materi muatan Perppu tentang Cipta Kerja ini memuat ulang dengan sedikit perubahan dan perbedaan dari materi muatan UU tentang Cipta Kerja, maka yang penting untuk menjadi kajian kita bersama adalah terpenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara khusus terpenuhinya syarat “hal ihwal kegentingan memaksa” yang menjadi dasar penetapan Perppu tersebut.

Untuk melihat urgensi dari suatu peraturan perundang-undangan, lazimnya kita mencermati landasan pemikiran baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis yang termuat secara eksplisit dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umum. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf c UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang hierarki/kedudukannya sejajar dengan Undang-Undang. Oleh sebab itu, sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang setara dengan Undang-Undang, Perppu harus memuat pokok pikiran yang mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya peraturan tersebut yang setidaknya memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Secara eksplisit konsiderans Perppu tentang Cipta Kerja memuat dasar pemikiran dalam 9 (sembilan) butir konsiderans yang dari butir kesatu hingga kelima merupakan konsiderans yang sama persis dengan UU tentang Cipta Kerja, termuat dalam Konsiderans huruf a hingga huruf e. Hanya saja pada bagian huruf e ditambahkan penegasan penggunaan metode omnibus law. Konsiderans huruf a hingga huruf e merupakan landasan pemikiran dari penyusunan materi muatan dalam UU tentang Cipta Kerja yang kemudian diatur ulang dalam Perppu tentang Cipta Kerja. Beberapa pengajuan judicial review secara materil ke Mahkamah Konstitusi mengenai materi muatan atau subtansi dari UU tentang Cipta Kerja sendiri belum ada yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi kemudian diketahui justru mengabulkan permohonan reviu secara formil terhadap UU tentang Cipta Kerja dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang memerintahkan dilakukannya perbaikan terkait dengan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang belum memenuhi prinsip meaningful participation.

Dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tesebut telah juga dikaji secara mendalam oleh Para Hakim Konstitusi terkait dengan urgensi dan landasan pemikiran dari penyusunan materi muatan dalam UU tentang Cipta Kerja yang secara tersurat dicantumkan dalam konsiderans huruf a hingga huruf e. Konsideran huruf a merupakan landasan filosofis yang bersumber dari Pancasila serta Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945. Adapun konsiderans huruf b sampai dengan huruf e sejatinya merupakan urgensi yang bersifat ekonomis yang menjadi landasan sosiologis pentingnya pembentukan UU tentang Cipta Kerja.

Jika kita cermati lebih lanjut maka urgensi atau landasan yuridis dari pembentukan Perppu tentang Cipta Kerja sendiri dimuat konsiderans huruf f hingga huruf i dengan tanpa mengenyampingkan konsiderans huruf a hingga huruf e. Dalam konsiderans huruf f dinyatakan bahwa secara yuridis Perppu ini dibentuk salah satunya ditujukan guna melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun kondisi “hal ikhwal kegentingan memaksa” digambarkan dalam konsiderans huruf g hingga huruf i.

Kegentingan yang memaksa Presiden menetapkan Perppu tentang Cipta Kerja adalah adanya dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Hal ini tergambar dalam konsiderans huruf g.

Secara keseluruhan gabungan dari pertimbangan dan kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, dianggap telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pertimbangan ini dikuatkan dalam konsiderans huruf h yang kemudian menjadi satu kesatuan dasar pertimbangan (konsiderans) guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera. Pada akhirnya kebutuhan dan tuntutan yang bersifat segera inilah yang mendasari perlunya menetapkan Perppu tentang Cipta Kerja tersebut.

Meskipun dalam kasus UU tentang Cipta Kerja, DPR kemudian memberikan persetujuan terhadap UU yang berasal dari usulan pemerintah tersebut melalui proses pembahasan bersama, namun dengan catatan penting terkait terpenuhi atau tidaknya unsur kegentingan memaksa yang menjadi dasar pembentukan Perppu dimaksud, apakah DPR akan bersikap sama dan memberikan persetujuannya terhadap Perppu Nomor 2 Tahun 2022?

Masa sidang pertama DPR masih terus berlanjut dan masyarakat menunggu pengajuan Perppu dan penyikapan DPR terhadap Perppu tersebut. Ditetapkannya Perppu memang menjadi subyektifitas Presiden menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” pun kewenangan ini diakui oleh Konstitusi. Namun demikian Konsitusi tetap memberikan ruang kepada DPR untuk menilai penafsiran hal ikhwal kegentingan memaksa. DPR akan menilai apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Setidaknya DPR dapat merujuk pada beberapa parameter yang sebagai kegentingan memaksa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 yakni antara lain:

  1. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
  3. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

DPR pun tentunya harus mencermati kembali pertimbangan hakim yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan “pekerjaan rumah” yang diberikan Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) guna perbaikan proses pembentukan UU tentang Cipta Kerja.

Sumber :

Oleh : Khopiatuziadah, S.Ag. LL.M

https://rechtsvinding.bphn.go.id/