Di era globalisasi yang terus bergerak maju, perkembangan teknologi digital meroket dengan kecepatan yang mengagumkan. Salah satu elemen vital dalam kehidupan masyarakat moderen adalah internet, yang telah menjadi kebutuhan pokok layaknya air dan listrik. Seiring tingginya permintaan, berbagai Internet Service Provider (ISP) bermunculan dengan klaim-klaim menjanjikan seputar kecepatan dan stabilitas koneksi. Mereka berlomba menawarkan bandwidth besar sebagai nilai jual utama dalam strategi pemasarannya. Namun demikian, di balik gemerlap promosi tersebut, tak sedikit yang berujung pada kekecewaan konsumen. Banyak ISP ternyata tidak menerapkan Service Level Agreement (SLA) yang merupakan sebuah kontrak formal yang menetapkan standar minimum layanan seperti kecepatan, uptime, dan kompensasi bila terjadi gangguan. Tanpa SLA, pengguna tidak memiliki kepastian terhadap kualitas layanan yang mereka terima, sehingga apa yang diiklankan kerap kali tidak sesuai dengan kenyataan.
Selain itu, fenomena tersebut juga telah menimbulkan munculnya berbagai keluhan dan laporan yang dapat ditemukan baik di media sosial maupun sekadar cerita pengalaman dari teman atau saudara kita yang mengalami kesulitan serupa. Salah satu contohnya yaitu laporan pada laman mediakonsumen.com tanggal 10 Februari 2025 dimana salah seorang pelanggan Biznet Home Internet yang telah berlangganan sejak Januari 2024 menyampaikan keluhannya terhadap layanan yang diberikan provider yaitu layanan internetnya sudah mati selama empat hari terakhir ini.
Munculnya kondisi-kondisi demikian dan ketidakhadiran SLA menciptakan celah hukum yang seolah memberikan ruang bagi penyedia layanan (provider) untuk lepas tangan terhadap mutu pelayanan. Padahal, dalam konteks hukum di Indonesia, konsumen tetap dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK). UU tersebut menjamin hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan jasa, serta menetapkan kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi layanan yang ditawarkan. Adanya UU PK sebagai payung hukum bagi perlindungan konsumen menjadi dasar bagi konsumen sendiri untuk menuntut kejelasan dan tanggung jawab dari penyedia layanan, meskipun tidak terdapat pengaturan terkait SLA secara eksplisit. Hal ini menunjukkan bahwa promosi bukan sekadar janji kosong, melainkan harus diiringi oleh komitmen terhadap kualitas layanan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Service Level Agreement (SLA) dan Urgensinya Dalam Menjamin Hak Konsumen Layanan Internet
Service Level Agreement (SLA) adalah perjanjian formal yang menetapkan batasan dan standar mutu layanan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa. Seperti yang dijelaskan dalam berbagai sumber terpercaya, SLA untuk layanan internet umumnya mencakup:
- Tingkat ketersediaan jaringan (uptime);
- Kecepatan minimum internet yang dijamin;
- Prosedur pemulihan ketika terjadi gangguan;
- Hak konsumen atas kompensasi bila layanan tidak terpenuhi.
Tanpa SLA, konsumen berada dalam posisi yang rentan. Banyak ISP (Internet Service Provider) yang mengaku tidak memiliki SLA, sehingga mereka merasa tidak terikat untuk memberikan jaminan atau tanggung jawab atas gangguan layanan. Praktik seperti ini menimbulkan ketimpangan, di mana pelaku usaha bisa dengan mudah lepas dari kewajiban, sedangkan konsumen tidak memiliki pijakan hukum yang kokoh untuk menuntut haknya. Di sinilah kemudian peran hukum menjadi sesuatu hal yang krusial. Indonesia sendiri pada prinsipnya telah memiliki perangkat hukum yang melindungi konsumen, yaitu UU PK. Meskipun SLA tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU PK, namun hak-hak dasar konsumen tetap menjadi sesuatu yang tetap dijamin yaitu dapat dilihat pada Pasal 4 dan 7 UU PK.
Dalam Pasal 4 UU PK secara jelas menyatakan bahwa konsumen memiliki hak di antaranya:
- Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa;
- Informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang/jasa;
- Kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan barang/jasa.
Sementara itu, dalam Pasal 7 UU PK beberapa kewajiban pelaku usaha yaitu untuk:
- Memberikan informasi yang lengkap dan akurat;
- Menjamin mutu barang/jasa;
- Memberikan kompensasi dan/atau ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen;
- Beritikad baik dalam menjalankan usahanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas jelas bahwa hak-hak konsumen diatur dan dilindungi dalam UU PK yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang/jasa. Informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan layanan sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU PK. Adanya layanan koneksi internet yang sering bermasalah yang diberikan pelaku usaha (penyedia/provider) tanpa informasi atau kepastian pemulihan, maka tindakan demikian tentunya secara jelas melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan terhadap konsumen sebagaimana diatur dalam UU PK. Padahal sesuai ketentuan Pasal 7 UU PK tersebut, pelaku usaha seharusnya wajib menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi (dalam hal ini layanan yang diberikan) dan juga wajib memberikan kompensasi kepada konsumen apabila layanan koneksi internet tersebut secara nyata malah merugikan konsumen.
Di samping itu, ketiadaan SLA pada dasarnya bukanlah suatu alasan untuk menghindar dari tanggung jawab hukum. Sebaliknya, hal ini justru memperkuat urgensi perlunya SLA sebagai instrumen kontraktual untuk memperjelas tanggung jawab dan hak konsumen secara rinci. Selain itu, dalam konteks perlindungan konsumen, SLA juga bukan sekadar kesepakatan teknis, melainkan perwujudan etika bisnis dan komitmen atas kepuasan pelanggan. Dengan adanya SLA yang sah dan diberlakukan secara konsisten, masyarakat sebagai pengguna layanan tidak hanya memperoleh akses internet, tetapi juga keadilan dan kepastian hukum dalam setiap interaksi digital mereka.
Hal Yang Dapat Dilakukan oleh Konsumen yang Merasa Dirugikan oleh Ketidaksesuaian Barang/Jasa yang Digunakan
Lantas apakah konsumen bisa menggugat ISP tanpa SLA? ISP sering menggunakan dalih bahwa mereka tidak memberikan SLA untuk produk yang sedang digunakan, sehingga memang tidak ada jaminan kecepatan ataupun uptime. Namun dalih ini tidak bisa diterima hukum karena UU PK sudah berlaku otomatis untuk semua transaksi yang dilakukan konsumen. Dan tidak dibutuhkan SLA tertulis untuk menggugat pelaku usaha, selama memang bisa dibuktikan bahwa layanan tidak terpenuhi. Konsumen dapat mengajukan gugatan dengan dibantu melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sebagai salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 46 ayat (1) huruf b UU PK, bahwa konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui LPKSM atau pengadilan. YLKI biasanya menjadi pilihan yang tepat apabila ingin melakukan konsultasi dan mediasi awal. Konsumen juga bisa mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai lembaga resmi pemerintah yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui penyelesaian sengketa formal. Lebih lanjut lagi konsumen juga bisa melakukan penggugatan ke pengadilan negeri untuk ganti rugi. Konsumen juga bisa menyampaikan permasalahan tersebut kepada Komdigi untuk dapat ditindaklanjuti terhadap pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
UU Perlindungan Konsumen seharusnya cukup dijadikan dasar hukum apabila pelaku usaha mencari celah atau kelonggaran untuk mencari keuntungan. Misalkan salah satu penyedia layanan internet mengatakan bahwa layanan yang mereka berikan tidak memiliki SLA (Service Level Agreement), maka mereka perlu memberikan kompensasi atau ganti rugi apabila barang/jasa yang diberikan tidak sesuai. Kendala yang terulang tanpa suatu kejelasan tentunya menyalahi UU Perlindungan Konsumen. Karena hak dari konsumen adalah kenyamanan dalam menggunakan barang/jasa yang diberikan. Misalkan customer mengalami gangguan layanan selama 4 (empat) hari. Maka dia sudah tidak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dibayarkan. Terlebih lagi konsumen juga berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi dan jaminan layanan. Pelaku usaha seharusnya dapat memberikan kejelasan mengenai kualitas mininum layanan. Apabila terjadi kendala juga harus dapat memberikan estimasi untuk waktu perbaikan. Terkadang pelaku usaha menutup informasi tersebut dengan dalih rahasia perusahaan dan kembali lagi kepada perihal tidak adanya SLA yang diberikan layanan tersebut. Hal ini berpengaruh pada kebijakan pelaku usaha untuk tidak memberikan kompensasi atas kendala yang dialami konsumen.
Dari penjelasan di atas, perlu juga pengaturan yang lebih mengikat seperti batas toleransi gangguan atau standar kompensasi. Sebagai contoh terdapat batas toleransi gangguan misal dalam 3 (tiga) hari, atau terdapat estimasi untuk perbaikan. Edukasi konsumen juga perlu dilakukan karena tidak semua konsumen tahu bahwa sebenarnya mereka bisa melakukan penuntutan. Pemerintah melaui organisasi seperti YLKI dapat melakukan edukasi kepada pihak konsumen dengan lebih aktif. Di samping itu, penegakan hukum yang lebih tegas juga untuk pelaku usaha yang membandel juga perlu diatur. Pihak ISP dapat dikenakan sanksi administratif ataupun denda apabila kendala yang terjadi sering terulang sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU Perlindungan Konsumen.
Tidak adanya SLA bukanlah suatu alasan untuk menghindari tanggung jawab bagi pelaku usaha untuk memberikan layanan yang baik dan optimal. Di era globalisasi ini, akses kepada internet yang stabil adalah hak warga negara. ISP harus bertanggung jawab atas layanan mereka, karena selain tidak memenuhi hak, juga berpotensi melanggar hukum.
Oleh : Krisna Bayu Aji (bphn.go.id)
