Jl. Raya Panglima Sudirman No.19 | Kota Probolinggo

Email Kami

jdih@probolinggokota.go.id

Telepon

(0335)421830

Aspek Pidana dan Perdata dalam Kasus Bullying Terhadap Anak

Pengertian Bullying

Apa itu bullying? Secara umum, tindak pidana bullying atau perundungan identik dikenal sebagai tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah. Dalam hal bullying terjadi di sekolah, bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Secara yuridis, berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU 35/2014, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang akibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Pasal terkait pada dasarnya tidak memberikan batasan mengenai perbuatan apa saja yang tergolong sebagai kekerasan, namun apabila perbuatan tersebut menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, atau seksual terhadap anak, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan.

Bentuk-bentuk Bullying

Menurut Antonius P.S. Wibowo dalam bukunya yang berjudul Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah , bullying setidaknya meliputi 5 kategori sebagai berikut:

  1. Fisik: memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
  2. Verbal: mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
  3. Perilaku non-verbal langsung: menempelkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam (biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).
  4. Perilaku non-verbal tidak langsung: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
  5. Pelecehan seksual: kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.

Sedangkan menurut Colorasi, bentuk-bentuk bullying terhadap anak di sekolah dibagi menjadi 4 jenis yaitu:

  1. Bullying fisik;
  2. Bullying verbal;
  3. Bullying relasional, yaitu tindakan yang melemahkan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran; dan
  4. Cyber bullying, yaitu tindakan bullying yang dilakukan seiring dengan berkembangnya teknologi pada platform internet dan media sosial. Pada intinya, korban terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku bullying baik dari SMS, pesan di internet dan media sosial lainnya.

Aspek Pidana Bullying Terhadap Anak

Mengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka berdasarkan pengaturan dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya, bullying termasuk sebagai tindak pidana. Pada dasarnya, bullying fisik maupun verbal diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Selanjutnya, jika larangan di atas dilanggar, pelaku bisa dijerat Pasal 80 UU 35/2014, yaitu:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
  2. Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
  3. Apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 54 UU 35/2014 juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, sebagai berikut:

  1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
  2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Lebih lanjut, jika bullying terhadap Anak dilakukan melalui media sosial, maka hukum pidana bullying merujuk pada Pasal 27A UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Pada prinsipnya, menyerang kehormatan/nama baik seseorang termasuk dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”.

Kemudian, orang yang melanggar Pasal 27A UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 2 tahun, dan/atau denda maksimal Rp400 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024.

Lalu, perlu dicatat bahwa bullying berupa menghina dengan ucapan kata-kata kasar seperti makian, cacian, dan/atau kata-kata tidak pantas, sekalipun dilakukan melalui sistem elektronik atau medsos, pelaku juga dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penghinaan ringan yang diatur dalam Pasal 315 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 436 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam artikel Ancaman Pidana Bagi Netizen yang Berkomentar Body Shaming.

Pasal 315 KUHP
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.

Pasal 436 UU 1/2023

Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.

Aspek Perdata Bullying Terhadap Anak

Di sisi lain, UU Perlindungan Anak dan perubahannya juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materiil/immateriil terhadap pelaku kekerasan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014:

Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

Adapun menurut Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014 , perlindungan khusus kepada anak diberikan kepada anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis.

Atau secara umum, bisa juga mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku bullying atas dasar telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata. Selengkapnya mengenai PMH dalam hukum perdata dapat Anda baca pada artikel Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana dan Apa itu Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata?

Peran Negara, Masyarakat, dan Keluarga

Pada prinsipnya, seluruh elemen masyarakat baik negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali, berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Terkait dengan pihak yang bertanggung jawab, dapat dilihat dalam beberapa pasal sebagai berikut:

  1. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah

Menurut Pasal 21 ayat (1) UU 35/2014, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental. Untuk menjamin pemenuhan hak anak tersebut, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.[7] Kebijakan tersebut dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak.[

Berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab negara dalam melindungi hak anak, dapat Anda temukan dalam Pasal 21 s.d. Pasal 24 UU 35/2014.

  1. Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Kewajiban masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU 35/2014. Lalu, Pasal 72 ayat (3) UU 35/2014 menambahkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilakukan dengan cara:

  1. memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak;
  2. memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait perlindungan anak;
  3. melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak, dan lain-lain.

3.Kewajiban dan Tanggung Jawab keluarga / Orang Tua

Menurut Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, orang tua dari anak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yaitu:

  1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
  2. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
  4. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Dalam hal tidak adanya keberadaan dari orang tua, tidak diketahui keberadaannya, ataupun karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawabnya dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semua pihak baik keluarga, masyarakat hingga negara memegang peran dan tanggung jawabnya masing-masing guna memberikan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kedua kali diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016;
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Referensi:

  1. Antonius P.S. Wibowo. Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019;
  2. Ela Zain Zakiyah, (et.al). Faktor yang Mempengaruhi Remaja Dalam Melakukan Bullying. Jurnal Penelitian & PPM, Vol. 4, No. 2, 2017.