Jl. Raya Panglima Sudirman No.19 | Kota Probolinggo

Email Kami

jdih@probolinggokota.go.id

Telepon

(0335)421830

Arbitrase di Indonesia, Antara Aturan dan Praktik

Sampai saat ini masih belum dilakukan amandemen terhadap UU 30/1999 ketika praktik arbitrase di dunia telah berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu. Membuat UU ini tertinggal dari perkembangan hukum arbitrase, sehingga perlu direvisi.

Dalam kesempatan yang sama, Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Eri Hertiawan menjelaskan pentingnya tempat pelaksanaan arbitrase. Beberapa aspek yang menjadi catatan adalah penunjang pelaksanaan sidang yang seringkali menjadi salah satu faktor daya tarik bagi pengguna. Selain soal polemik efisiensi, netralitas, kenyamanan, dan keamanan selama berlangsungnya proses arbitrase.

Hukumonline.com

Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Eri Hertiawan (kanan) bersama narasumber lain.

Ia menyayangkan sampai saat ini belum pernah dilakukan amandemen terhadap UU 30/1999 ketika praktik arbitrase di dunia telah berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu yang membuat UU ini tertinggal dari perkembangan hukum arbitrase dewasa ini. Meskipun sudah ada Perma No. 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase yang memperkuat kerangka arbitrase. Namun masih terdapat beberapa catatan di dalamnya.

“Jika nantinya UU 30/1999 diganti, amandemen atau apapun itu harus memuat ketegasan bahwa namanya award itu harus ada kategorinya. Putusan sela atau sita jaminan misalnya, atau sudah benar-benar masuk pokok perkara. Hal itu juga menurut saya harus mengikuti praktik internasional. Bagaimanapun kita harus mengikuti praktik internasional, kalau tidak ya kita disini-sini saja (praktiknya). Sementara Indonesia termasuk sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang luar biasa,” ucap Eri.

Ia melanjutkan perlu adanya tempat arbitrase yang tepat di Indonesia, sehingga dapat mendorong Indonesia sebagai pusat arbitrase baru di kawasan. Tentunya dengan langkah tersebut juga akan meningkatkan kepercayaan pengguna dalam memilih arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa.

Indonesia dalam hal arbitrase berdasarkan pengamatan Eri kurang memiliki ketentuan hukum khusus yang memungkinkan penegakan tindakan sementara yang diperintahkan pengadilan. Dengan demikian ke depannya reaksi pengadilan terhadap Perma 3/2023 harus diperhatikan. Guna memastikan tindakan sementara yang diperintahkan pengadilan ditegakkan, pengadilan juga harus dilengkapi dengan kewenangan memerintahkan tindakan sementara untuk membantu arbitrase seperti yang telah diberlakukan di Singapura.

Di sisi lain, Ketua Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) Dr. Sutardjo mengklaim dalam praktiknya terjadi peningkatan setiap tahun atas penyelesaian sengketa melalui arbitrase di LAPS SJK. Tercatat 36% dari sengketa yang diadukan atau sekitar 21 kasus telah berhasil diselesaikan dan menghasilkan putusan arbitrase.

“Berbagai perubahan yang terjadi, terutama yang mempengaruhi perilaku PUJK (Pelaku Usaha Jasa Keuangan) dan konsumen dapat memicu timbulnya jenis-jenis sengketa baru antara PUJK dengan konsumen, dan mendorong manajemen LAPS SJK untuk lebih adaptif menyikapi perubahan yang terjadi, serta merumuskan strategi layanan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase terbaik dalam proses penciptaan nilai bagi para pihak terkait,” kata Sutardjo..

Sumber : Ferinda K Fachri (hukumonline.com)